Rabu, 30 Oktober 2013

Proses Pendirian PT


1. Tahap Pengajuan Nama PT.
Pengajuan nama perusahaan ini didaftarkan oleh notaris melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Kemenkumham. Adapun persyaratan yang dibutuhkan sebagai berikut:
·         Melampirkan asli formulir dan pendirian surat kuasa;
·         Melampirkan photocopy Kartu Identitas Penduduk (“KTP”) para pendirinya dan para pengurus perusahaan;
·         Melampirkan photocopy Kartu Keluarga (“KK”) pimpinan/pendiri PT.
Proses ini bertujuan untuk akan melakukan pengecekan nama PT (apakah Nama PT tersebut sudah gunakan atau tidak?), dimana pemakaian PT tidak boleh sama atau mirip sekali dengan nama PT yang sudah ada maka yang perlu siapkan adalah 2 (dua) atau 3 (tiga) pilihan nama PT, usahakan nama PT mencerminkan kegiatan usaha anda. Disamping itu, pendaftaran nama PT ini bertujuan untuk mendapatkan persetujuan dari instansi terkait (Kemenkumham) sesuai dengan UUPT dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas.
2) Tahap Pembuatan Akta Pendirian PT.
Pembuatan akta pendirian dilakukan oleh notaris yang berwenang diseluruh wilayah negara Republik Indonesia untuk selanjutnya mendapatkan pesetujuan dari Menteri Kemenkumham.
Patut untuk dipahami, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan akta ini, yaitu:
1.      Kedudukan PT, yang mana PT harus berada di wilayah Republik Indonesia dengan menyebutkan nama Kota dimana PT melakukan kegiatan usaha sebagai Kantor Pusat;
2.      Pendiri PT minimal 2 orang atau lebih;
3.      Menetapkan jangka waktu berdirinya PT: selama 10 tahun, 20 tahun atau lebih atau bahkan tidak perlu ditentukan lamanya artinya berlaku seumur hidup;
4.      Menetapkan Maksud dan Tujuan serta kegiatan usaha PT;
5.      Akta Notaris yang berbahasa Indonesia;
6.      Setiap pendiri harus mengambil bagian atas saham, kecuali dalam rangka peleburan;
7.      Modal dasar minimal Rp.50.000.000,- (lima puluh juta Rupiah) dan modal disetor minimal 25% (duapuluh lima perseratus) dari modal dasar;
8.      Minimal 1 orang Direktur dan 1 orang Komisaris; dan
9.      Pemegang saham harus WNI atau Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, kecuali PT dengan Modal Asing atau biasa disebut PT PMA.
3) Tahap Pembuatan Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP).
Permohonan SKDP diajukan kepada kantor kelurahan setempat sesuai dengan alamat kantor PT anda berada, yang mana sebagai bukti keterangan/keberadaan alamat perusahaan (domisili gedung, jika di gedung). Persyaratan lain yang dibutuhkan adalah: photocopy Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun terakhir, Perjanjian Sewa atau kontrak tempat usaha bagi yang berdomisili bukan di gedung perkantoran, Kartu Tanda Penduduk (KTP) Direktur, Izin Mendirikan Bangun (IMB) jika PT tidak berada di gedung perkantoran.
4) Tahap Permohonan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Permohonan pendaftaran NPWP diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan keberadaan domisili PT. Persyaratan lain yang dibutuhkan, adalah: NPWP pribadi Direktur PT, photocopy KTP Direktur (atau photocopy Paspor bagi WNA, khusus PT PMA), SKDP, dan akta pendirian PT.
5) Tahap berikutnya pengesahan Anggaran Dasar Perseroan oleh Menteri Kemenkumham.
Permohonan ini diajukan kepada Menteri Kemenkumham untuk mendapatkan pengesahan Anggaran Dasar Perseroan (akta pendirian) sebagai badan hukum PT sesuai dengan UUPT. Persyaratan yang dibutuhkan antara lain:
·         Bukti setor bank senilai modal disetor dalam akta pendirian;
·         Bukti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai pembayaran berita acara negara;
·         Asli akta pendirian.
6) Mengajukan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
SIUP ini berguna agar PT dapat menjalankan kegiatan usahanya. Namun perlu untuk diperhatikan bahwa setiap perusahaan patut membuat SIUP, selama kegiatan usaha yang dijalankannya termasuk dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLUI) sebagaimana Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 Tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia.
Permohonan pendaftaran SIUP diajukan kepada Kepala Suku Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan/atau Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Perdagangan kota atau kabupaten terkait sesuai dengan domisili PT. Adapun klasifikasi dari SIUP berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.39/M-DAG/PER/12/2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan No.36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan adalah sebagai berikut:
1.      SIUP Kecil, wajib dimiliki oleh perusahaan perdagangan yang kekayaan bersihnya lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
2.      SIUP Menengah, wajib dimiliki oleh perusahaan perdagangan yang kekayaan bersihnya lebih dari Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat Usaha;
3.      SIUP Besar, wajib dimiliki oleh perusahaan perdagangan yang kekayaan bersihnya lebih dari Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
7) Mengajukan Tanda Daftar Perusahaan (TDP).
Permohonan pendaftaran diajukan kepada Kepala Suku Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan/atau Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Perdagangan kota atau kabupaten terkait sesuai dengan domisili perusahaan. Bagi perusahaan yang telah terdaftar akan diberikan sertifikat TDP sebagai bukti bahwa perusahaan/badan usaha telah melakukan wajib daftar perusahaan sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan.
8) Tahap Berita Acara Negara Republik Indonesia (BNRI).
Setelah perusahaan melakukan wajib daftar perusahaan dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Kemenkumham, maka harus di umumkan dalam BNRI dari perusahaan yang telah diumumkan dalam BNRI, maka PT telah sempurna statusnya sebagai badan hukum.
Ingin mengetahui lebih jauh mengenai prosedur dan biaya pendirian CV silahkan menghubungi

Asas-Asas Umum Hukum perdata internasional Dalam Bidang Hukum Keperdataan


BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

            Makalah ini akan membahas mengenai Hukum Perdata Internasional dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembahasannya. Diantaranya adalah  asas-asas umum HPI dalam  bidang hukum keperdataan dan beberapa hal lagi yang akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan. Pada hakekatnya setiap negara yang berdaulat, memiliki hukum atau aturan yang kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstream Hukum Positif untuk mengatur warga negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di Indonesia adalah Hukum Perdata Internasional yang nantinya akan dibahas lebih detail.

Permasalahan mengenai keperdataan yang mengkaitkan antara unsur-unsur internasional pada era globalisasi saat sekarang ini cukup berkembang pesat. Aktor non-negara dan aktor individu mempunyai peran yang sangat dominan. Pada saat sekarang ini berbagai perusahaan-perusahaan multi nasional (Multi National Corporation) baik yang berorientasi pada keuntungan atau yang tidak berorientasi pada keuntungan hilir mudik melintasi batas territorial suatu negara untuk melakukan transaksi perdagangan, kerjasama, memecahkan permasalahan, riset dan berbagai kegiatan lainnya. Begitu juga dengan aktor individu, mereka-mereka yang mempunyai uang lebih atau ingin mencari uang lebih keluar masuk dari satu negara ke negara lain dengan proses yang begitu cepat. Terjadinya perkawinan dua warga negara yang berbeda, mempunyai keturunan disuatu negara, mempunyai harta warisan dan lain sebagainya. Inilah sebuah konsekwensi dari sebuah globalisasi, tak bisa dihindari, akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan sifat dasar umat manusia.

Masalah-masalah keperdataan diatas diperlukan sebuah wadah untuk dapat menjadi acuan dan rujukan bertindak dari aktor-aktor tersebut. Wadah tersebut diperlukan agar dunia yang ditempati ini tidak didasari dengan hukum rimba, yang kuat menang dan yang lemah akan tersingkir, secara arti luas yang kaya akan menjadi semakin kaya dan yang miskin akan bertambah miskin. Keperluan-keperuan akan suatu hal untuk mengatur permaslahan-permasalahan diataslah menjadikan hukum tentang keperdataan perlu diatur dalam sutau kerangka-kerangka hukum positif.



 

B. Rumusan Masalah


Penulisan makalah ini diarahkan untuk mendapatkan pemahaman mengenai beberapa hal yang menjadi fokus penulisan makalah, yaitu:

1.Apakah yang dimaksud dengan ASAS-ASAS UMUM HPI DALAM BIDANG   

    HUKUM KEPERDATAAN ?

2. Apa saja pembahasan penting yang berkaitan dengan  Hukum Perdata   

      Internasional?

 

C.Tujuan
 
Tujuan  dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Agar dapat mengetahui asas-asas umum  HPI dalam bidang  hukum perdataan

2. agar dapat mengetahui pembahasan penting yang berkaitan dengan  Hukum Perdata  

      Internasional



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II
PEMBAHASAN

 

ASAS-ASAS UMUM HPI DALAM BIDANG HUKUM KEPERDATAAN

A. ASAS-ASAS HPI TENTANG SUBJEK HUKUM

1.
Asas Nasionalitas (Kewarganegaraan)[1]

Asas-Asas Kewarganegaraan

            Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 menyebutkan, Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Dan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini tengah memuat asas-asas kewarganegaraan umum ataupun universal. adapun asas-asas yang dianut dalam undang-undang ini antara lain :
1.      Asas Ius Sanguinis (law of blood) merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2.      Asas Ius Soli (law of the soil) secara terbatas merupakan asas yang menetukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
3.      Asas Kewarganegaraan Tunggal merupakan asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4.      Asas Kewarganegaraan Ganda terbatas merupakan asas yang menetukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Undang-undang kewarganegaraan pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan seorang anak hanya apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, dan hilangnya kewarganegaraan ayah atatu ibu tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan seorang anak menjadi hilang.





ASAS KEWARGANEGARAAN[2]

1.      Kewarganegaraan Indonesia
Yang dimaksud dengan kewarganegaraan Indonesia menurut Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan adalah sebagai berikut:
a)      Setiap orang yang berdasarkan perundang-undangan dua/atau berdasarkan perjanjian     
      Pemerintah RI dengan negara lain sebelum UU ini berlaku sudah menjadi WNI.
b)      Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu WNI.
c)      Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu WNA.
d)     .      Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI.
e)      Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
f)       Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya WNI.
g)      Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI.
h)      Anak yang lahir di luar perkawinan yang sh dari seorang ibu WNA sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin.
i)        . Anak yang lahir di wilayah Negara RI yang pada waktu lahir tidak jelas ststus kewarganegaraan ayah dan ibunya.
j)        . Anak yang bearu lahir yang ditemukan di wilayah Negara RI selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
k)      Anak yang lahir di wilayah Negara RI apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
l)        Anak yang dilahirkan di luar wilayah Negara RI dari seorang ayah dan ibu WNI yang karena ketentuan dari negara setempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepadas anak yang bersangkutan.
m)    Anak dari seorang ayah dan ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah dan ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah dan menyatakan jannji setia.
2.      Asas Kewarganegaraan
Asas kewarganegaraan yaitu daklam berfikir untuk menentukan masuk dan tidaknya seseorang menjadi anggota/warga dari suatu negara.
Adapaun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2006 adalah sebagai berikut:
a)      Asas Ius Soli (Low of The Soli)
Adalah  asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran.
b)      Asas Ius Sanguinis ( Law of The Blood)
Adalah penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan/pertalian darah. Artinya penentuan kewarganegaraan berdasarkan kewarganegaraan orang tuanya bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
c)      Asas Kewarganegaraan Tunggal
Adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
d)     Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas
Adalah asas  menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai gengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
e)      Asas Kewarganegaraan Lainnya
            Selain asas tersebut di atas, beberapa asas juga menjadi dasar penyusunan UndanUndang tentang Kewarganegaraan RI
a.       Asas kepentingan nasional asalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamanakn kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatan sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita.
b.      Asas perlindungan maksimum adalah asas ysng menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga Negara RI dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri.
c.       Asas persamaan si dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa setiap warga Negara RI mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
d.      Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi jiga substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
e.       Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakanperlakuan dalam segala hal awal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender.
f.       Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang sama dalam segala hal awal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi dan memuliakan hak asasi manusia.
g.      Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan RI diumumkan dalam Berita Negara RI agar masyarakat mengetahuinya.

3.      Undang-Undang Kewarganegaraan di Indonesia
            Beberapa peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan RI setelah Indonesia merdeka antara lain sebagai berikut:
a.       UUD 1945 pasal 26
b.      Undang-Undang No.3 Tahun 1946
c.       Hasil persetujuan Konfrensi Meja Bundar
d.       Undang-Undang No.62 Tahun 1958
e.       Undang-Undang No.3 Tahun 1976
f.       Undang-Undang RI No.12 Tahun 2006

4.      Cara untuk memperoleh Kewarganegaraan
Berdasarkan UU No.12 Tahun 2006 telah disebutkan beberapa cara untuk memperoleh kewarganegaraan RI secara rimgkas.
a.       Memenuhi persyaratan pewarganegaraan RI.
b.      Pemohon mengajukan permohonan pewarganegaraan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan materai secukupnya kepada Presiden melalui menteri yang disampaikan kepada pejabat.
c.       Pemohon wajib menyerahkan dokumen atau surat-surat keimigrasian atas namanya kepada kantor imigrasi dalam waktu 14 hari kerja setelah pengucapan sumpah atau pernyataan jamji setia.
d.      Menteri mengumunkan nama orang yang telah memperoleh kewarganegaraan dalam Berita Negar RI.
e.       Ketentuan lebih lanjut tentang tata caara mengajukan dan memperoleh kewarganegaraan RI diatur dalam Peraturan Pemerintah.

5.      Hilangnya Kewarganegaraan RI
            Berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 2006 seseorang warga negara Indonesia akan kehilangan kewarganegaraannya bila  memenuhi hal-hal berikut:
a.       Memilih kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
b.      Tidak menolak dan tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapatkan kesempatan untuk itu.
c.       Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin presiden.
d.      Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing.
e.       Turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing.

2.ASAS DOMICILE[3]

Status Personal Dan Kaitannya Dengan Prinsip Kewarganegaraan Dan Prinsip Domisili dalam HPI ( hukum perdata internasional )

            Dalam hukum perdata internasional kita mengenal yang namanya status personal. Maka pada pembahasan kali ini, penulis mencoba menjelaskan menganai kaitan antara status personal tersebut dengan prinsip kewarganegaraan dan prinsip domisili, dimana pada tulisan ini, penulis mencoba sedikit memaparkan apa itu status personal dan kaitannya dengan prinsip domisili, serta contoh kasus yang pernah terjadi beserta penyelesaiannya.

A.STATUS PERSONAL

            Dalam hukum perdata internasional terdapat yang namanya status personal, yaitu penyelesaian suatu kasus HPI dengan menganut prinsip kewarganegaraan. Status personal adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hubum yang diberikan/ diakui oleh Negara untuk mengamankan dan melindungi lembaga-lembaganya . Status personal ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan bertindak di bidang hukum, yang unsure-unsurnya tidak dapat berubah atas kemauan pemiliknya .
Dalam hal ini terdapat istilah Pro kewarganegaraan:

1. Prinsip ini cocok untuk perasaan hukum nasional dari warganegara tertentu , lebih cocok lagi bagi warga negara yang bersangkutan
2. Lebih permanen dari hukum domisili, karena prinsip kewarganegaraan lebih tetap dari pada prinsip domisili dimana kewarganegaraan tidak demikian mudah diubah-ubah seperti domiili, sedangkan status personil memerlukan stabilitas sebanyak mungkin
3. Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian lebih banyak:
a. pengertian kewarganegaraan lebih mudah diketahuidaripada domisili seseorang, arena adanya peraturan tentang kewarganegaraan yang lebih pasti adri negara yang bersangkutan
b. Ditetapkan cara-cara memperoleh kewarganegaraan suatu Negara
Selain itu, juga terdapat istilah Pro domisili.
           
Hukum domisili adalah hukum yang bersangkutan sesungguhnya hidup, dimana seseorang sehari-hari sesungguhnya hidup, sudah sewajarnya jika hukum dari tempat itulah yang dipakai untuk menentukan status personilnya. Prinsip kewarganegaraan seringkali memerlukan bantuan domisili. Seringkali ternyata prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip-prinsip domisili.

B.KEWARGANEGARAAN DOMISILI

            Perancis, belgia, luxemburg, monaco, belanda, rumania, finlandia, jerman, yunani, hungaria, montenegro, polandia, portugal, spanyol, swedia, turki, iran, tiongkok, jepang, kostarika, republik dominika, equador, haiti, honduras, mexico, panama, venezuela
Semua negara-negara inggris yang menganut “common law”, scotlandia, afrika selatan, quebec, denmark, norwegia, iceland, negara-negara amerika latin, argentina, brazilia, guatemala, nicaragua, paraguay, peru

C.PRINSIP KEWARGANEGARAAN
[4]

Prinsip umum tentang kewarganegaraan adalah :

1. Asas kelahiran (ius soli), yaitu kewarganegaraan seseorang ditentkan oleh tempat kelahiran. Contoh: Ada orang tua Y melahirkan di wilayah X, anak berkewarganegaraan X.
2. Asas keturunan (ius sanguins), kewarganegaraan berdasarkan kketurunan daripada orang yang bersangkutan. Contoh: Ada orang tua Y melahirkan di wilayah X, anak berkewarganegaran Y.
Dwi kewarganegaraan (bipartide) adalah orang dapat meiliki dua kewarganegaraan (bipatride) atau lebih dari dua kewarganegaraan. Bipartide timbul karena dianutnya berbagai asas yang berbeda dalam peraturan kewarganegaraan. Apabila suatu negara menganut asas kelahiran dan negara lain menganut asas keturunan. Contoh: orang tau A cina (ius sanguins) (tinggal di indonesia lebih dari 20 tahun) maka menurut undang-undang kewarganegaraan dianggap sebagai warganegara melahirkan di indonesia, maka anaknya punya dua kewarganegaraan. Cara mencegah bipartide dapat dilakukan dengan melakukan perjanjian bilateral, misalnya antara indonesia dengan cina. Undang-undang no.2 tahun 1958 dimana dalam waktu 20 hari sejak (20-1-1960 s/d 10-1-1962) orang yang berstatus dwi kewarganegaraan harus memilih salah satu dan melepaskan yang lain.

D.PRINSIP DOMISILI

            Pada dasarnya yang disebut dengan prinsip domisili adalah Negara atau tempat menetap yang menurut hukum dianggap sebagai pusat kehidupan seseorang (centre of his life). Pengertian hukum domisili ini sesungguhnya berasal dari hukum inggris. Hukum domisili ini didasarkan pada kediaman permanen seseorang .

            Macam-macam domisili menurut hukum inggris, dikenal dengan tiga macam domisili, yaitu :
a. Domicile of origin. Pada konsep domisili ini, setiap orang memperoleh domicile of origin nya pada waktu kelahirannya. Yaitu Negara dimana ayahnya bedomisili pada saat ia dilahirkan.
b. Domicile of Choice. Untuk memperoleh domisili ini, menurut system hukum inggris diharuskan untuk memenuhi persyaratan, yaitu:

1. Kemampuan (capacity)
2. Tempat kediaman (residence)
3. Hasrat (intentioan)
c. Domicile by Operation of The Law. Domisili ini adalah domisili yang dimiliki orang-orang yang tergantung pada domisili orang lain (dependent).
Doctrine of Revival

            Sisi lain yang pantas mendapat perhatian adalah apa yang dinamakan doctrine of revival. Menurut doktrin ini,apabila seseorang telah melepaskan domisili semula, tetapi tidak memperoleh domisili yang lainnya, maka domicile of origin-nya lah yang hidup kembali.



3.STATUS PERSONAL / STATUTA PERSONALIA
   BADAN HUKUM[5]

Status Personal Badan Hukum berguna untuk:
  Menentukan ada tidaknya badan hukum
  Menentukan kemampuan untuk bertindak dalam hukum
  Menentukan hukum yang mengatur organisasi intern dan hubungan-hubungan hukum dengan pihak ketiga
  Menentukan cara-cara perubahan Anggaran dasar serta berhentinya badan hukum
  Menentukan hak-hak dan kewenangan dari sejak ’lahir’ 9diciptakan/berdiri) hingga ’meninggal’ (berhentinya sebagai badan hukum setelah dilikuidasi)
Setidaknya ada 3 teori yang menjelaskan titik laut yang dapat menentukan status personal badan hukum:
  1. Teori inkorporasi (place of incorporation)
  2. Teori tempat kedudukan secara statuair
  3. Teori tempat kedudukan manajemen(legal seat, headquarters central office siege reel)
Teori Korporasi
Badan hukum tunduk kepada hukum Negara dimana ia didirikan. Penganut: Common Law, Belanda belakangan juga mengikuti teori ini.
Alasan:
  1. Sesuai logika hukum jika suatu badan hukum tunduk pada hukum dimana formalitas-formalitas unutuk pendiriannya dilangsungkan sehingga suatu badan hukum hanya akan mendapat status dari suatu sistem hukum tertentu saja
  2. Teori ini memberi kepastian hukum
  3. Tidak menimbulkan kesukaran jika suatu badan hukum berpindah tempat kedudukan.
Teori Tempat Kedudukan Secara Statuair
Menurut teori ini, badan hukum tunduk atau diatur berdasarkan hukum negara tempatdimana menurut anggaran dasarnya badan hukum yang bersangkutan memiliki kedudukan.
Tempat Kedudukan Manajemen yang Efektif
Suatu badan hukum harus tunduk pada hukum negara dimana ia memiliki tempat kedudukan manajemen efektif. Pengikut: Negara-negara civil law di Eropa, kecuali Belanda dan negara civil law di Amerika Selatan.
Implementasi: Akan bermasalah jika kantor pusat tersebut pindah ke negara lain.

Adapun asas-asas dalam status personal badan hukum adalah:
  ASAS KEWARGANEGARAAN/DOMISILI PEMEGANG SAHAM
Asas ini beranggapan bahwa status badan hukum ditentukan berdasarkan hukum dari tempat di mana mayoritas pemegang sahamnya menjadi warga negara (lex patriae) atau berdomisili (lex domicili).
Asas ini dianggap sudah ketinggalan zaman karena kesulitan untuk menetapkan kewarganegaraan atau domisili dari mayoritas pemegang saham, terutama jika komposisi kewarganegaraan atau domisili itu ternyata beraneka ragam.
  ASAS CENTRE OF ADMINISTRATION/BUSINESS
Status dan kewenangan yuridik suatu badan hukum harus tunduk pada kaidah-kaidah hukum dari tempat yang merupakan pusat kegiatan administrasi badan hukum tersebut.
  ASAS PLACE OF INCORPORATION
  ASAS CENTRE OF EXPLOITATION
Status dan kedudukan badan hukum harus diatur berdasarkan hukum dari tempat perusahaan itu memusatkan kegiatan operasional, eksploitasi atau kegiatan produksi barang/jasanya.
Teori ini akan mengalami kesulitan jika dihadapkan pada perusahaan-perusahaan multinasional, terutama jika perusahaan induknya mengalami persoalan hukum yang berkaitan dengan eksistensi yuridisnya (pailit, merger, akuisisi, dsb.)
Dalam Konvensi Den Haag 1951, prinsip inkorporasi yang pertama-tama dikemukakan walaupun harus diakui bahwa sesuatunya bersifat kompromissoir, mengingat juga prinsip central office diberikan tempat yang layak.
Di Indonesia, menurut pasal 3 UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menentukan bahwa perusahaan-perusahaan yang hendak terhitung dalam kategori-kategori perusahaan-perusahaan di bawah UU tersebut haruslah suatu perusahaan yang seluruhnya atau sebagian terbesar beroperasi di Indonesia sebagai suatu ‘independent business unit’ yang harus merupakan badan hukum menurut hukun Indonesia dan mempunyai domisili, tempat kedudukannya di Indonesia.


B. ASAS-ASAS HPI DALAM HUKUM KELUARGA[6]
1.      Pengertian Perkawinan Campuran
            Menurut Pasal 57 UU No. I/1974 pengertian perkawinan campuran adalah:Perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hokum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
            Apabila melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut:
1.      Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita
2.      Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hokum yang berlainan
3.      Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan
4.      Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
Contoh: seorang wanita warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki warga Negara asing atau sebaliknya
b.    Syarat-syarat Perkawinan Campuran
              Sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hokum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1 UU No. 1/1974)
Sahnya perkawinan harus berdasarkan Pasal 2 UU No. I/1974 yang menyebutkan:
1.      Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
2.      Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua-duanya beragama islam dicatat di Kantor Urusan Agama sedangkan yang berbeda di kantor Catatan sipil.


2.Akibat perkawinan Campuran.
            Menurt Pasal 58 UU No. I/1974 akibat dari perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
·         Pasal 59 ayat (1) UU No. I/1974 menyebutkan:
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hokum yang berlaku baik mengenai hokum public maupun mengenai hokum perdata.
            Kedudukan anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin akan mengikuti kewarganegaraan ayah dan ibunya dengan siapa ia mempunyai hubungan hokum keluarga.
Dengan berlakunya UU Kewarganegaraan No 12 tahun 2006 anak hasil dari perkawinan campuran adalah warga Negara Indonesia, apabila:
1.      Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu WNA (Pasal 4 sub c).
2.      Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI (Pasal 4 sub d)
3.      Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hokum senaga asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak tersebut (Pasal 4 sub e).
4.      Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya WNI (Pasal 4 sub 9)
5.      Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI (Pasal 4 sub g)
6.      Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin (Pasal 4 sub h)
7.      Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya (Pasal 4 sub i)
8.      Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui (Pasal 4 sub j)
9.      Anak yang baru lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui kewarganegaraan (Pasal 4 sub k)
10.  Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia (Pasal 4 sub m)
·         Pasal 5 UU No. 22 Tahun 2006 menyatakan:
1.      Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui WNI
2.      Anak WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan pengadilan tetap diakui sebagai WNI
·         Pasal 6 ayat 1 menyatakan;
Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagai dimaksud dalam Pasal 4 sub c, sub d, sub h, sub I dan pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Seperti telah disebutkan sebelumnya akibat dari perkawinan campuran terhadap suami/istri akan kehilangan atau mendapat kewarganegaraan.
1.            Perempuan WNI yang kawin dengan laki-laki WNA kehilangan kewarganegaraan republic Indonesia jika menurut hokum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
2.            Laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hokum Negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
3.            Perempuan (dalam ayat 1) atau laki-laki (dalam ayat 2) di atas jika ingin tetap menjadi WNI dapat mengajukan kepada Pejabat yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut.

·         Pasal 19 antara lain menyatakan sebagai berikut;
1.            WNA yang kawin secara sah dengan WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga Negara dihadapan Pejabat.
2.            Pernyataan tersebut (ayat 1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.

3.Asas-Asas Tentang Akibat Perkawinan


            Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
a.    Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri
  1. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
  2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
  3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum (ayat 2).
  4. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
  5. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
  6. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.
  7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
  8. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
b.    Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
  1. Timbul harta bawaan dan harta bersama.
  2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun.
  3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hokum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).
c.    Akibat Perkawinan Terhadap Anak
  1. Kedudukan anak
·         Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)
·         Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
  1. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
·         Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).
·         Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
·         Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).
  1. Kekuasaan orang tua
·         Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua.
·         Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
·         Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
·         Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin
·         Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila:  ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak  Ia berkelakuan buruk sekali
·         Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah:
·         Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Isi kekuasaan orang tua adalah:
  1. Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya.
  2. Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hokum di dalam maupun di luar pengadilan.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya.
Kekuasaan orang tua berakhir apabila:
·         Anak itu dewasa
·         Anak itu kawin
·         Kekuasaan orang tua dicabut

4.
Perihal Putusnya Perkawinan Karena Perceraian[7]

A. Perihal Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Menurut KUH Perdata
Di dalam Bab II sub A di atas penulis membahas pengertian perkawinan, tujuan perkawinan dan syarat-syarat perkawinan maka dalam Bab III sub A ini penulis membahas masalah putusnya perkawinan.
Karena itu kalau kita perhatikan walaupun tujuan perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal sebagai mana yang telah penulis uraikan di muka, tetapi tidak jarang di dalam menempuh mahligai perkawinan tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan yakni para pihak bersepakat untuk selalu hidup bersama dalam mencari kebahagiaan atau kesejahteraan baik material maupun spiritual bersama-sama dengan keturunannya sampai akhir hayat hidupnya, akan tetapi sering kali hasrat seperti itu kandas di tengah jalan oleh karena adanya berbagai hal.
Melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenai putusnya perkawinan terdapat di dalam Bab VIII pasal 38 yang terdiri dari tiga macam yakni :
a.   Karena kematian;
b.   Karena perceraian;
c.   Atas keputusan Pengadilan.
Selanjutnya mengenai putusnya perkawinan ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat kita lihat di dalam buku I Titel X pasal 199 di sana disebutkan secara limitative bahwa perkawinan ini terputus karena:
a.   Karena kematian:
b.   Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami istri selama sepuluh tahun dan diikuti perkawinan dengan perkawinan baru sesudah itu oleh istri atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian kelima Bab 18 (delapan belas).
c.   Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur (perceraian gantung) dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagi kedua Bab mi.
d.   Karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga Bab ini.
Setelah kita ketahui beberapa hal mengenai putusnya perkawinan baik menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akhirnya penulis hanya membatasi pada pokok pembahasan sebagai berikut :
1.   Perkawinan yang putus karena kematian;
2.   Perkawinan yang putus karena putusan hakim setelah terjadi perpisahan meja atau tempat tidur;
3.   Perkawinan yang putus karena perceraian.
1.Perkawinan Yang Putus Karena Kematian

            Tentang kematian, yakni dengan meninggalnya salah satu pihak (suami atau istri) dengan sendirinya segala ikatan perkawinan akan berakhir, oleh sebab itu perkawinan yang putus karena kematian tidak perlu diuraikan lebih lanjut berhubung persoalannya sudah jelas.

2.Perkawinan Yang Putus Karena Putusan Hakim Setelah Terjadi Perpisahan Meja    Dan Tempat Tidur

Bagi pasangan suami istri yang tidak dapat hidup bersama disebabkan berbagai hal, tetapi menurut kepereayaan kedua belah pihak masih menaruh keberatan-keberatan terhadap suatu perceraian, maka oleh Undang-undang diberi kemungkinan-kemungkinan untuk meminta suatu perpisahan meja dan tempat tidur, oleh karena lembaga perpisahan meja dan tempat tidur ini merupakan suatu cara pemecahan dalam menanggulangi keganjilan-keganjilan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Walaupun perpisahan meja dan tempat tidur ini dapat dimintakan atas persetujuan kedua belah pihak (suami dan istri), Tetapi untuk meminta perpisahan meja dan tempat tidur harus pula disertai dengan alasan-alasan yang sah sebagaimana yang tercantum dalam pasal 233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut :
“Dalam hal adanya peristiwa-peristiwa yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menuntut perceraian perkawinan, suami dan isiri adalah berhak, menuntut perpisahan meja dan tempat tidur. Tuntutan untuk perpisahan yang demikian boleh juga dimajukan berdasarkan atas perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan penghinaan kasar, dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain”.

Dari bunyi pasal itu ternyata meskipun diantara kedua belah pihak (suami dan istri) itu hidup secara terpisah tidak berarti kedua belah pihak terlepas dari pertalian perkawinan atau dengan kata lain bahwa perkawinannya itu di sini belumlah putus (bubar), tetapi dengan perpisahan meja dan tempat tidur itu hanyalah mempunyai akibat suami istri tersebut dibebaskan dari kewajibannya untuk tinggal bersama (dalam arti tinggal serumah). Untuk itu kedua belah pihak masih selalu diberi kesempatan untuk berdamai lagi atau untuk hidup bersama lagi.
Kemudian bila hakim mengabulkan tuntutan kedua belah pihak atau dengan perkataan lain hakim memutuskan perpisahan meja dan tempat tidur itu terjadi pembubaran perkawinan, maka dalam jangka waktu yang sudah ditentukan harus didaftarkan pada pegawai pencatatan sipil di tempat perkawinan itu dilangsungkan (pendaftaran nama harus dilakukan dalam waktu enam bulan setelah tanggal putusan hakim).

3.      Perkawinan Putus Karena Perceraian
Berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah ada perpisahan meja dan tempat tidur dimana di dalamnya itu tidak dapat perselisihan-perselisihan yang begitu mendasar bahkan mungkin saja di dalamnya terdapat suatu kehendak baik dari pihak suami maupun dari pihak istri untuk mengakhiri perkawinan tersebut. Maka pada perkawinan yang putus karena perceraian ini pada dasarnya dilarang atas persetujuan kedua belah pihak (pasal 208), tetapi perceraian itu selalu didahului oleh pertengkaran-pertengkaran atau perselisihan-perselisihan yang mendasar dalam arti bahwa diantara kedua belah pihak itu sudah tidak ada kecocokan lagi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah pembubaran suatu perkawinan ketika pihak-pihak masih hidup dengan didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dibenarkan serta ditetapkan dengan suatu keputusan hakim. Maka dengan adanya perceraian ini perkawinan mereka pun putus dan diantara mereka tidak lagi ada hubungan suami istri, akibat Iogisnya mereka dibebaskan dari segala kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami istri.
Adapun alasan-alasan perceraian menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat dalam pasal 209 yang disebutkan sebagai berikut :
1.   Zinah (overspel);
2.   Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja;
3.   Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun Iamanya atau dengan hukuman yang Iebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan;
4.   Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh suami terhadap si istri atau sebaliknya si istri terhadap suaminya yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.

C.ASAS-ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DALAM KONTRAK/PERJANJIAN [8]
            Perjanjian/kontrak merupakan persetujuan di antara dua orang atau lebih yang memuat satu atau beberapa janji yang bersifat timbal balik dan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak. Dalam kontrak yang bersifat internasional, tentu proses ini melibatkan unsur-unsur personalia, obyek kontrak ataupun area/wilayah secara lintas negara.
Dalam menyusun perjanjian antara pihak yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda ataupun perjanjian yang mengandung unsur HPI haruslah berdasarkan kesepakan para pihak,
a. Asas Pacta Sunservanda
            Perjanjian merupakan undang undang bagi yang membuatnya. Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat

b. Lex Loci Contractus
            Menurut teori Lex Loci Contractus ini hukum yang berlaku adalah hukum dari tempat dimana kontrak itu dibuat . Jadi tempat dibuatnya sesuatu kontrak adalah faktor yang penting untuk menentukan hukum yang berlaku. Dimana suatu kontrak dibuat, hukum dari negara itulah yang dikapai. Akan tetapi dalam praktek dagang internasional pada waktu sekarang ini prinsip tersebut sukar sekali dipergunakan. Jelas sekali hal ini apa yang dinamakan kontrak-kotrak antara orang-orang yang tidak bertemu, tidak berada ditempat, “Contract between absent person”. Jika para pihak melangsungkan suatu kontrak tetapi tidak sampai bertemu maka tidak ada tempat berlangsungnya kontrak.
c. Lex Loci Solutions
            Menurut teori ini hukum dari tempat dimana perjanjian dilaksanakan, jadi bukan tempat dimana kontraknya ditandatangani akan tetapi dimana kontrak itu dilaksanakan .

d. The proper law of the contract ,
            Digunakan untuk mengedepankan apa yang dinamakan “intention of the parties” hokum yang ingin diberlakukan untuk perjanjian tersebut karena dikehendaki oleh para pihak ybs. Hukum yang dikehendaki itu bisa dinyatakan secara tegas yaitu dicantumkan dalam perjanjian, bisa pula tidak dinyatakan secara tegas apabila ditegaskan keinginan para pihak,maka hukum yang diberlakukan adalah yang ditegaskan. Apabila tidak ditegaskan,maka harus disimpulkan oleh pengadilan dengan melihat pada isi perjanjian, bentuknya unsure-unsur perjanjian maupun kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa disekelilingnya yang relevan dengan perjanjian tersebut.
e. Teori The Most characteristic Connection
            Pada tiap-tiap kontrak dapat dilihat pihak mana yang melalukan prestasi yang paling karaktetristik dan hukum dari pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik ini adalah hukum yang dianggap harus dipergunakan karena hukum inilah yang terberat dan yang sewajarnya digunakan .
            Dalam hukum perdata dikenal beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak sehingga akan terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak pembuat suatu kontrak yang mereka sepakati dan hal tersebut juga tetap berlaku dalam hukum perdata internasional. Prinsip dan klausul dalam kontrak dimaksud adalah sebagai berikut:
1)      Asas Kebebasan Berkontrak. Berdasarkan prinsip ini, para pihak berhak menentukan apa saja yang ingin mereka sepakati, sekaligus untuk menentukan apa yang tidak ingin dicantumkan di dalam isi perjanjian, tetapi bukan berarti tanpa batas. Dalam KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang dirumuskan sebagai: (a) Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya; (b) Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu; (c) Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
2)      Asas Konsensualitas. Suatu perjanjian timbul apabila telah ada konsensus atau persesuaian kehendak antara para pihak. Dengan kata lain, sebelum tercapainya kata sepakat, perjanjian tidak mengikat. Konsensus tersebut tidak perlu ditaati apabila salah satu pihak menggunakan paksaan, penipuan ataupun terdapat kekeliruan akan objek kontrak.
3)      Asas Kebiasaan. Suatu perjanjian tidak mengikat hanya untuk hal-hal yang diatur secara tegas saja dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan sebagainya, tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan yang diikuti masyarakat umum. Jadi, sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan. Dengan kata lain, hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukan dalam persetujuan meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. (Pasal 1339 BW).
4)      Asas Peralihan Resiko. Dalam sistem hukum Indonesia, beralihnya suatu resiko atas kerugian yang timbul merupakan suatu prinsip yang berlaku untuk jenis-jenis perjanjian tertentu seperti pada persetujuan jual beli, tukar menukar, pinjam pakai, sewa menyewa, pemborongan pekerjaan, dan lain sebagainya, walaupun tidak perlu dicantumkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Meskipun demikian, para pihak boleh mengaturnya sendiri mengenai peralihan resiko itu, sepanjang tidak bertentangan dengan undang undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
5)      Asas Ganti kerugian. Penentuan ganti kerugian merupakan tugas para pembuat perjanjian untuk memberikan maknanya serta batasan ganti kerugian tersebut karena prinsip ganti rugi dalam sistem hukum Indonesia mungkin berbeda dengan prinsip ganti kerugian menurut sistem hukum asing. Dalam KUHPerdata Indonesia, prinsip ganti kerugian ini diatur dalam pasal 1365, yang menentukan; “Setiap perbuatan melanggar hukum yang menmbawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut.” Dengan demikian, untuk setiap perbuatan yang melawan hukum karena kesalahan mengakibatkan orang lain dirugikan, maka ia harus mengganti kerugian yang diderita orang lain, tetapi harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian dimaksud sebab tidak akan ada kerugian jika tidak terdapat hubungan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh si pelaku dengan timbulnya kerugian tersebut.
6)      Asas Kepatutan (Equity Principle). Prinsip kepatutan ini menghendaki bahwa apa saja yang akan dituangkan di dalam naskah suatu perjanjian harus memperhatikan prinsip kepatutan (kelayakan/ seimbang), sebab melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang ditimbulkan oleh suatu persetujuan itu ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat (KUH-Perdata: pasal 1339). Dengan begitu, setiap persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dimuat dalam naskah perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh “kepatutan”, kebiasaan atau undang undang.
7)      Asas Ketepatan Waktu. Setiap kontrak, apapun bentuknya harus memiliki batas waktu berakhirnya, yang sekaligus merupakan unsur kepastian pelaksanaan suatu prestasi (obyek kontrak). Prinsip ini sangatlah penting dalam kontrak-kontrak tertentu, misalnya kontrak-kontrak yang berhubungan dengan proyek konstruksi dan proyek keuangan, di mana setiap kegiatan yang telah disepakati harus diselesaikan tepat waktu. Prinsip ini penting untuk menetapkan batas waktu berakhirnya suatu kontrak. Dalam setiap naskah kontrak harus dimuat secara tegas batas waktu pelaksanaan kontrak.
8)      Asas Keadaan darurat (Force Majeure). Force majeure principle ini merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dicantumkan dalam setiap naskah kontrak, baik yang berskala nasional, regional, maupun kontrak internasional. Hal ini penting untuk mengantisipasi situasi dan kondisi yang melingkupi objek kontrak.

D. ASAS-ASAS HPI DALAM BIDANG HUKUM TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM [9]
            Perbuatan melawan hukum memiliki  ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan  dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Soebekti dan Tjitrosudibio menterjemahkannya sebagai berikut:
“Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
        Para pihak yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek hukum yaitu bias manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai subjek hukum.
       Ketentuan dalam Pasal 1365  BW kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 1366 BW yaitu:
“Setiap orang bertanggung jawab tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tetapi juga disebabkan oleh kelalaiannya.”
       Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum tidak saja mencakup suatu perbuatan, tetapi juga  mencakup tidak berbuat. Pasal 1365 BW mengatur tentang “perbuatan” dan Pasal 1366 BW mengatur tentang “tidak berbuat”.
       Menurut ajaran Legisme (abad 19), suatu perbuatan melawan hukum diartikan sebagai beruat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat atau melanggar hak orang lain. Sehingga menurut ajaran Legistis suatu perbuatan melawan hukum harus memenuhi salah satu unsure yaitu: melanggar hak orang lain bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat yang telah diatur dalam undang-undang.
       Pada tahun 1919, Hoge Raad merumuskan pandangan luas mengenai perbuatan melawan hukum. Pada rumusannya, Hoge Raad mempergunakan rumusan yang terdapat dalam rancangan Heemskerk yang mana yang dimaksud perbuatan melawan hukum tidak sama dengan melawan undang-undang tetapi perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai “berbuat” atau “tidak berbuat” yang memperkosa hak oranglain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau bertentangan dengan asas kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain.
       Rumusan tersebut dituangkan dalam “Standart Arrest” 31 Januari 119 dalam perkara Cohen dan Lindenbaum:
“…. Penafsiran tersebut tidak beralasan karena melawan hukum tidak sama dengan melawan undang-undang. Menurut Hoge Raad perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai “berbuat” atai “tidak berbuat” yang memperkosa hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau kesusilaan atau kepatuhan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain.”        Sejak tahun 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan Perbuatan Melawan Hukum dalam arti luas pada perkara  Lindenbaum v. Cohen dengan mengatakan Perbuatan Melawan Hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan :
  1. Hak Subyektif orang lain.
  2. Kewajiban hukum pelaku.
  3. Kaedah kesusilaan.
  4. Kepatutan dalam masyarakat
       Pertanggungjawaban yang harus dilakukan berdasarkan perbuatan melawan hukum ini merupakan suatu perikatan yang disebabkan dari undang-undang yang mengaturnya (perikatan yang timbul karena undang-undang).
        Pada ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:
  1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
  2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian).
  3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
       Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:
  1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi.
  2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bias juga merupakan suatu kecelakaan.
  3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi.
  4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau wanprestasi terhadap kewajiban trust ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya.
  5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual
  6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
  7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia buka suatu fisika atau matematika. 

E.
ASAS-ASAS HPI DALAM BIDANG HUKUM PEWARISAN
[10]

         Pada dasarnya pewarisan adalah pemindahan segala hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia (Pewaris) kepada ahli warisnya.Masalah-masalah yuridis yang timbul dari persoalan dan proses pewarisan, seringkali bersumber pada dua masalah pokok yaitu:
1.    Pewarisan yang diatur berdasarkan Undang-Undang, dalam pewarisan tidak menyatakan dengan tegas keinginannya melalui testament (ab Intestate atau Intestate Succession)
2.    Pewarisan melalui testament, yaitu keinginan pewaris terhadap harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia yang dinyatakan dalam testamen (Testamentary Sucession)
            Persoalan pewarisan semacam itu menjadi masalah Hukum Perdata Internasional (HPI) bila didalamnya terlibat sejumlah unsur asing, yang pada akhirnya memunculkan persoalan tentang hukum mana atau apa yang harus digunakan untuk mengatur pewarisan yang bersangkutan.
            Dalam hukum perdata Islam Internasional pewarisan adalah suatu pemindahan segala hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia kepada para ahli waris,[9] sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 833 BW bahwa pewarisan adalah sebagai suatu proses pemindahan hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang dari seseorang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya.
            Fakta-fakta dalam perkara pewarisan yang secara potensial yang umumnya dapat mempertautkan perkara dengan suatu sistem hukum baik lokal maupun asing adalah[10]:

1.    Status dan kedudukan benda atau harta peninggalan
2.    Penentuan kapasitas hukum atau kemampuan hukum si pewaris
3.    Penentuan validitas substansial dan atau formal dari testamen
           
1.       Proses Berlangsungnya Pewarisan dalam HPI[11]
                Dalam hukum perdata Internasional, proses berlangsungnya pewarisan bisa terjadi dengan sendirinya, tanpa perbuatan hukum si pewaris atau bisa juga melalui suatu perbuatan hukum yang dilakukan si pewaris sewaktu masih hidup dengan membuat suatu testamen atau surat wasiat.
            Di Inggris pewarisan tanpa wasiat berlaku untuk benda-benda tidak tetap maka berlaku ketentuan Lex Domicili, yaitu hukum dari domisili si pewaris. Lex Domicili ini menentukan siapa saja para ahli waris, berapa besar bagian masing-masing dan bagaimana prioritas atau garis keutamaannya. Untuk benda-benda tatap berlaku Lex Situs, yaitu berlakunya hukum dari suatu negara dimana benda tersebut terletak.
            Lex Situs berlaku juga untuk pewarisan benda-benda tetap melalui wasiat. Sedangkan untuk pewarisan benda tidak tetap melelui wasiat ditentukan oleh kemampuan si pewaris untuk menyatakan kehendaknya, yang ditentukan oleh Lex Domicili dari si pewaris atau pembuat wasiat. Bila si pembuat wasiat telah berpindah domisili baik dari waktu membuat wasiat ataupun pada waktu kematiannya, maka mengenai domisili ini ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh pakar Hukum Perdata Internsioanal yaitu:
1)   Dicey dan Cheshire, menyatakan bahwa domisili si pembuat wasiat adalah domisili pada waktu ia membuat wasiat.
2)   Westlake, Foote, Beale dan Graveson,  menyatkan bahwa domisili si pembuat wasiat adalah domisili dimana ia meninggal dunia.
            Di Indonesia yang menganut sistem kesatuan harta peninggalan, baik benda tetap maupun benda bergerak berdasarkan pada jurisprudensi dan doktrin atau pendapat para para Pakar Hukum Perdata Internasional yakni pewarisan dilakukan berdasarkan pada hukum nasional si pewaris. Apabila hukum nasional pewaris terdiri dari berbagai macam sistem hukum maka merujuk pada pasal 15 sub 1 BW bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana tempat tinggal si pewaris berada.
              Pada dasarnya ada dua prinsip umum hukum kewarisan bila ditinjau dari segi hukum perdata Internasional:
a)   Prinsip Pemisahan Harta Peninggalan.
                Berdasarkan prinsip ini, maka harta peninggalan seseorang pewaris di pisahkan antara benda bergerak dan benda tetap. Benda bergerak diwariskan berdasarkan hukum pribadi si pewaris. Sedangkan benda tetap atau tidak bergerak di wariskan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Lex Situs, yaitu hukum dari negara dimana benda tetap tersebut terletak. Prinsip ini banyak dianut oleh negara Inggris beserta jajahannya, Amerika Serikat, Rusia dan bebrapa negara lain.

b)   Prinsip Kesatuan Harta Peninggalan
                Prinsip ini menganggapa bahwa harta peninggalan baik benda bergerak maupun benda tetap, merupakan satu kesatuan dan semuanya diwariskan berdasarkan hukum personal si pewaris. Prinsip ini dianut disebagian besar negara-negara yang mengoper Code Civil, seperti Italia, Spanyol, Belanda, Portugal dan Jerman. Pada prinsipnya Indonesia juga menganut prinsip kesatuan harta peninggalan ini, tetapi khusus untuk hukum personal dalam pewarisan Indonesia menganut sistem  nasionalitas yakni berdasarkan atas kaedah hukum perdata internasional yang tidak tertulis, dalam hal ini adalah jurisprudensi dan pendapat para ahli lainnya bukan berdasarkan atass uatu ketentuan hukum perdata Internasional yang tertulis.

2        Asas-Asas Kewarisan dalam Hukum Perdata Ineternasional
                Di dalam HPI berkembang beberapa asas yang dapat digunakan untuk menentukan hukum yang berlaku dalam persoalan pewarisan, diantaranya adalah:
a)      Umumnya diterima asas bahwa dalam hal benda yang menjadi objek pewarisan merupakan benda tetap, maka proses pewarisan atas benda-benda semacam itu harus diatur bedasarkan hukum dari tempat benda terletak atau berada, berdasarkan Lex Rei Sitae atau Lex Situs.
b)      Bila benda-benda yang menjadi objek pewarisan adalah benda-benda bergerak, maka proes pewarisan benda-benda itu dapat ditundukkan pada kaidah-kaidah hukum waris dari tempat si pewaris menjadi warga negara (Les Patriae) atau berkediaman tetap (Lex Domicilii) pada saat ia meninggal dunia.
c)      Hukum dari tempat pewaris berdomisili atau menjadi warga negara pada saat pembuatan testamen
d)     Hukum dari tempat pewaris berdomisili atau menjadi warga negara pada saat ia meninggal dunia.
                Beberapa asas Hukum Perdata Internasional untuk menetukan hukum yang berlaku dalam persolan pewarisan misalnya dalam sistem HPI di Amerika Serikat, secara tradisional persoalan pewarisan benda-benda tetap dan bergerak diatur berdasarkan konsep spirit succesion, sebagai contoh: pewaris meninggal di negara bagian X sebagai tempat ia berdomisili terakhir. Ia memiliki benda-benda bergerak di X dan tanah di Y. Pada masa hidupnya pewaris membuat testamen yang mewariskan, baik benda begerak maupun tanahnya, tetapi belakanan berusaha membatalkannya di pengadilan. Pengadilan menetapkan bahwa pembatalan itu dapat dilaksanakan sesuia hukum X hanya untuk benda-benda bergerak yang ada di X saja, dan karena itu, benda-benda itu dapat diwariskan berdasarkan pewarisan ab intestato. Tetapi karena tindakan pembatalan testame itu belum sah menurut hukum Y, maka tanah harus tetap diwariskan sesuia amanat yang sudah dimuat dalam testamen.

C.     Letak Perbedaan dan Persamaan Kewarisan (Tinjauan Hukum Perdata Internasional dan Hukum Islam)
            Hukum kewarisan Islam atau yang dalam kitab-kitab fikih biasa disebut Faraid adalah hukum kewarisan yang diikuti oleh umat Islam dalam usaha  mereka menyelesaikan pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia. Di bebrapa negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam Faraid telah menjadi hukum positif, meskipun sebagaimana yang berlaku di Indonesia hanya berlaku untuk warga negara yang beragama Islam, belum berlaku secara nasional. Namun, di beberapa negara hukum tersebut telah menjadi hukum nasional seperti yang berlaku di Arab Saudi dan negara-negara Islam lainnya.
           

















BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN

Asas-asas umum hukum perdata internasional dalam bidang keperdataan adalah asas-asas yang mana menjadi satu dasar atau prinsip dalam menyelesaikan perkara-perkara perdata dalam ruang  lingkup internasional .
            Dengan demikian,pada pelaksanaan peneyelesaian perkara perdata internasional dapat di gunakan asas-asas umum HPI ini untuk menyelesaikan perkara-perkara tersebut.
            Dalam hukum perdata internasional terdapat yang namanya status personal, yaitu penyelesaian suatu kasus HPI dengan menganut prinsip kewarganegaraan. Status personal adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hubum yang diberikan/ diakui oleh Negara untuk mengamankan dan melindungi lembaga-lembaganya . Status personal ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan bertindak di bidang hukum, yang unsure-unsurnya tidak dapat berubah atas kemauan pemiliknya
Adapun Asas-asas umum hukum perdata internasional dalam bidang keperdataan yaitu
1.      Asas-Asas Hpi Tentang Subyek Hukum
2.      Asas-Asas Hpi Dalam Hukum Keluarga
3.      Asas-Asas Hpi Dalam Hukum Perjanjian
4.      Asas-Asas Hpi Dalam Bidang Hukum Pewarisan
5.      Asas-Asas Hpi Dalam Bidang Hukum Tentang Perbuatan Melawan Hukum









Daftar  pustaka

·         Khairandy, Ridwan. dkk, Pengantar Hukum Perdata Indonesia, Yogyakarta:Gama Media, 1999
·         Lubis, Suhrawardi dkk. Hukum Waris Islam (Lengkap&Praktis). Jakarta: Sinar Grafika.2004
·         Manasikana, Arina. Waris. Yogyakarta:Pustaka Insan Madani.2007
·         Purbacaraka, Purnadi. Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional. Jakarta: Rajawali. 1983
·         Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001
·         http://liasalala.blogspot.com/2011/03/prinsip-domisili-dalam-hpi.html
·         Sudar go Gaut ama. 1977. Pengant ar Hukum Per dat a I nt ernas io na l I ndo ne s ia. Jakar t a: B ina C ipt a.
·         http://syakirman.blogspot.com/2010/11/kewarisan-menurut-hukum-perdata.html












[1] http://gantengbgt-tugas.blogspot.com/2012/04/asas-asas-untuk-menentukan.html
2. Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001

[2] http://gantengbgt-tugas.blogspot.com/2012/04/asas-asas-untuk-menentukan.html
- Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001

[3] http://liasalala.blogspot.com/2011/03/prinsip-domisili-dalam-hpi.html
Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001

Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001

-Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001

-Khairandy, Ridwan. dkk, Pengantar Hukum Perdata Indonesia, Yogyakarta:Gama Media, 1999

- Khairandy, Ridwan. dkk, Pengantar Hukum Perdata Indonesia, Yogyakarta:Gama Media, 1999

[8] Sudar go Gaut ama. 1977. Pengant ar  Hukum Per dat a I nt ernas io na l  I ndo ne s ia. Jakar t a: B ina C ipt a.
- Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001


[9] http://secangkircokelatpanas680.blogspot.com/2011/07/tugas-hukum-perdata-internasional-asas.html
-Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001

[10] http://syakirman.blogspot.com/2010/11/kewarisan-menurut-hukum-perdata.html
- Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001

[11] Manasikana, Arina. Waris. Yogyakarta:Pustaka Insan Madani.2007